Kategori

Minggu, 11 Februari 2018

10 KATA “BERBAHAYA” DI SAMARINDA

Baiklah, langsung saja. Berikut ini adalah sepuluh di antaranya.
  1. Bungul
bungul
Jangan keburu happy dulu deh kalo ada orang bilang gini sama kamu. Sebab kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya adalah bodoh atau idiot.
Kata ini berasal dari bahasa Banjar, dan termasuk yang paling populer dan sering disampaikan. Saking seringnya, sampai-sampai efek dari pengucapannya sangat bergantung dari ekspresi dan kesan si penutur.
  1. Bonto’
bonto
Menggunakan tanda petik tunggal atau apostrof di akhir kata, menunjukkan bahwa pengucapannya menghadirkan kesan konsonan “k” yang tipis. Kata ini umumnya digunakan untuk menandai telur yang busuk, seperti dalam frasa “hintalu bonto’” atau telur busuk. Hanya saja, seperti dalam bahasa Indonesia pada umumnya, bonto’ sebagai makian kepada seseorang bukan menunjukkan adanya sesuatu yang kedaluwarsa, tidak dierami, atau membusuk layaknya proses biologis alamiah, melainkan sesuatu yang meleset, mengecewakan, dan mengesalkan.
  1. Tambuk
tambuk
Kurang lebih memiliki makna yang sama dengan bungul, kata ini juga digunakan untuk mewakili kebodohan, sikap yang kolokan dan udik, maupun dungu. Apabila ada di antara kamu yang bisa menambahkan spektrum makna kata ini, silakan berbagi.
  1. Buntat
buntat
Kalau yang satu ini, penjelasannya memang agak panjang ya. Di satu sisi, buntat bisa disederhanakan pula sebagai bodoh. Namun berbeda dengan bungul yang jelas-jelas berarti bodoh, atau tambuk yang cenderung menggambarkan kedunguan, pada dasarnya buntat masih memiliki sedikit kesan iba. Kasihan dengan kebodohan seseorang, tapi tetap mengesalkan.
Begini gambarannya. Dalam pengucapan keseharian, buntat juga bisa digunakan untuk mewakili sesuatu yang buntu, tidak efektif, atau gagal. Misalnya ketika ada petasan yang tidak meledak setelah disulut, berarti petasan itu buntat baik lantaran masalah pada sumbu, atau pada sambungan antara sumbu ke cadangan mesiu.
Pada konteks yang berbeda, buntat juga mewakili ulir rumah bekicot, siput, keong, atau binatang bercangkang luar. Mengapa begitu? Karena ulir rumah keong yang mengerucut tidak berlubang, sehingga tidak bisa ditiup alias buntu. Itu sebabnya, bagi sebagian orang, makian buntat bisa dilengkapi menjadi “buntat haliling”. Sementara haliling sendiri adalah sejenis keong kecil, yang berkerabat dengan tutut maupun keong sawah (Pila ampullacea), dan konon juga digemari sebagai bahan masakan tertentu.
Selain itu, juga pernah terlontar ungkapan buntat buras. Hanya saja, belum ada penjelasan yang memadai soal penambahan kata buras–ya, penganan semacam lontong yang dibungkus daun itu–dengan kata buntat.

  1. Pehol
pehol
Untuk kalian yang mengalami tren rambut catok di masa remajanya, mungkin akan familier dengan kata serapan bahasa Inggris ini. Kata pehol adalah plesetan. Iya, plesetan. Minta tolong sama setan, gitu. Pleeeasee setaaaaan… *krik*
Skip.
Oke.
Fokus.
Pehol ini plesetan dari pee hole. Tahu kan maksudnya? Alias lubang pipis. Ya, kelamin lah.

     6. Hali

hali
Nah, kata ini berasal dari bahasa Kutai. Meskipun popularitasnya tidak seterkenal kata nomor 1 sampai 4, namun tetap banyak juga digunakan orang Samarinda, secara terbatas.
Dalam bahasa Kutai, hali berarti gila. Penggunaannya pun dibarengi dengan kata seru bahasa yang sama. Seperti “hali beneh” (gila banget); “kanak hali” (anak/orang gila); dan sebagainya. Sesederhana itu. Udah.
  1. Gonggong
gonggong
Ini bukan suara anjing, atau cara anjing bersuara. Kata gonggong dipakai untuk menghardik orang lain karena kebodohannya. Masih 11-12 dengan kata nomor 1 dan 3, dan relatif kerap digunakan penutur bahasa Banjar.
Hanya saja, ada teori yang menyebut bahwa kata ini disadur dan diturunkan dari bahasa Tionghoa, terutama dialek Guangfu (Khonghu), maupun Fujian (Hokkian). Sebab dalam dua dialek tersebut, juga digunakan tuturan gong maupun ngong untuk menyebut bodoh pemikiran dan perilakunya. Sebutan ini juga memiliki akar yang sama dengan kata berikutnya, yaitu…
  1. Telengong
telengong
Sebutan ini barangkali terdengar agak asing, tapi tidak sedikit orang Samarinda (maupun orang Kalimantan secara umum, biar tidak merajuk) yang pernah mendengarnya minimal sekali seumur hidup.
Apabila dipadankan ke dalam bahasa Indonesia, telengong cukup diterjemahkan menjadi bodoh sekali. Namun kita bisa mendapatkan gambaran yang yang komprehensif, bila menyandingkannya dengan bahasa Jawa tutur. Yakni “plonga-plongo”, “lola’-lolo’”, dan sejenisnya dengan melibatkan ekspresi wajah yang clueless.
Khusus soal kata ini, lagi-lagi ada teori yang menyebutkan bahwa telengong diambil dari istilah serupa dalam bahasa Tionghoa dialek Fuqing (Hokcia): taraengong yang mengalami perubahan lafal pada konsonan “r” menjadi “l”. Hanya saja dalam bahasa ini, taraengong berarti idiot yang bodoh sekali. Ada indikasi rendahnya kecerdasan objek penderita.
  1. P*kiayam
kiayam
Boleh dibilang ini merupakan makian paling kasar nomor dua di Samarinda. Bisa jadi, saking kasarnya, sebutan ini sudah jarang digunakan kaum muda. Kebanyakan, penuturnya saat ini adalah orang tua, atau golongan lansia.
Sebutan ini sengaja ditulis sebagai satu kata tunggal, lantaran pemaknaannya yang begitu jauh, atau kurang nyambung dibanding benda aslinya. Bila kita pecah menjadi dua kata, frasa di atas berarti kelamin ayam. Lalu entah bagaimana ceritanya, dijadikan makian ketika kesal dalam intensitas tinggi.
  1. Kimaknya
kimaknya
Ini dia, umpatan yang paling lethal dibanding yang lain. Menyangkut organ paling sensitif, dan figur paling sakral dalam sebuah keluarga. Berbeda loh ya, dengan kerang kima yang jadi doyanan sebagian orang.
Saat dituturkan, istilah ini kurang lebih bermakna “curse on Your mother’s c*nt (for birthing You)!” Itu sebabnya, kata ini merupakan paling tabu di antara yang lain, dan benar-benar diutarakan untuk menghina habis-habisan lawan bicara.
Sekadar informasi, pengucapan seperti ini lumayan merata di seluruh Indonesia, dengan beda pada logat maupun intonasi. Khususnya dalam ranah bahasa Melayu. Pun bagi penutur bahasa Kutai, umpatan ini bahkan jadi satu kalimat sederhana. Lebih jauh lagi, dalam budaya tutur bahasa Tionghoa modern dan bahasa Inggris pun, juga ada serapahan yang serupa.
Kendati begitu, ada turunan lain dari kata ini, yang membuatnya terasa agak “ringan”. Seperti kimbonya, kimbenya, dan kimprut.
Selain sepuluh kata di atas, sebenarnya ada beberapa kata lain yang kerap dilontarkan orang Samarinda untuk mewakili keadaan tertentu, juga berasal dari bahasa Banjar maupun bahasa Kutai. Tetapi tidak dikategorikan sebagai makian, melainkan ungkapan keras saja. Seperti mucil yang diartikan sebagai sikap bebal atau bandel. Juga ada celetukan lopad dari bahasa Kutai, yang sering disalahpahami sejajar dengan kata brengsek, tapi bagi sebagian orang lebih pas diartikan sebagai sialan atau frasa “aduh-aduh…
Kata makian hanya akan membuat orang lain menjadi marah atau merasa terhina, bila yang bersangkutan hidup dalam kebudayaan dan lingkungan kepercayaan yang sama. Yakali ngomong bungul ke Tom Morello, bukannya marah mungkin dia bakal senyum-senyum karena enggak ngerti.
Sementara itu, sebagai disclaimer, artikel ini dihadirkan bukan untuk mendorong atau menyemangati kamu semua lebih aktif mengumpat atau memaki. Melainkan menunjukkan sekelumit dari kekayaan budaya bahasa Nusantara yang ada, khususnya di Samarinda. Toh, di sisi lain, makian kerap dimaknai sedangkal-dangkalnya hanya sebagai kata-kata kotor dan kasar. Juga disampaikan dengan tujuan untuk mengobarkan emosi lawan bicara. Padahal, apabila kita paham maknanya yang netral, kemudian bersikap datar saja, makian tadi bakal jadi “peluru letoi” yang meleset tak mengenai sasaran. Menang di kita.

2 komentar: