- Uma’ ai…
“Uma’ ai…” bisa digunakan untuk mengekspresikan beberapa kondisi. Bisa berupa kekaguman, menyayangkan, atau menunjukkan respons atas sesuatu yang terkesan berlebihan. Oleh karena itu, istilah ini barangkali bisa disepadankan dengan celetukan “wuidih…” dalam tuturan bahasa Indonesia populer.
Contoh: “Uma’ ai… pina harat banar.” (wuidih… sok banget sih.)
- Apa pang lagi/Bujur-bujur
Nah, kalo frasa ini mungkin
bisa diartikan sebagai tanda setuju atau pembenaran dengan penekanan
khusus. Semacam mengiyakan pernyataan lawan bicara kamu, seperti yang
pernah dijadikan contoh dalam artikel sebelumnya. Kurang lebih serupa
dengan celetukan khas Betawi “bener-bener deh…” Meskipun juga bisa disandingkan dengan ungkapan “bujur-bujur.”
Contoh: “Memang inya tuh harat, apa pang lagi.” (memang gitu banget dianya.)
- Maapkan ai…
Frasa yang satu ini, relatif mudah
dipadankan dengan ungkapan “ya maaf…” dalam bahasa Indonesia populer,
dan kerap kita temui sebagai bentuk dialog lazim di sinetron, skrip
film, dan sejenisnya.
Contoh: “Maapkan ai… ngarannya jua urang sugih.” (ya maaf, namanya juga orang kaya.)
- Mauk banar!/Mambari muar
Ungkapan ini diutarakan dalam mengekspresikan kekesalan, semacam kayak “ah ribet”, “ah muak”, “ah bete…” Ya pokoknya kalo kita lagi KZL gitu.
Contoh: “Bah ikam tuh, mauk banar!” (ah kamu itu, ribet!)
- Tau ai…
Kalo frasa yang satu ini bisa disamakan dengan “udah tau kali…” dalam bahasa Indonesia populer.
Contoh: “Tau ai aku, kada usah dipadahi pulang.” (aku udah tau kali… Ndak usah diomongin lagi.)
- Pina musti!/Peiya-iyanya
Kita bisa menggunakan ungkapan ini untuk
menunjukkan sikap sok orang lain, jadi secara garis besar bisa
disampaikan dalam emosi negatif atau meledek. Lebih tepat disebut
sebagai cibiran. Kendati memiliki makna yang kurang lebih serupa, “peiya-iyanya” juga dapat digunakan sebagai penguat.
Contoh: “Inya tuh pina musti urangnya, peiya-iyanya.” (dia memang sok, kayak bener-benernya aja.)
- Lalu ai…
Hmm… Frasa yang ini agak pelik
untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sebab, ungkapan ini
menunjukkan bahwa sang lawan bicara, atau orang ketiga, melakukan
sesuatu secara tendensius setelah ada penyebabnya. Bisa jadi padanan
yang paling mendekati adalah ungkapan “mentang-mentang…”, “dasar…”,
atau “langsung deh”.
Contoh: “Di muka bebinian haja pang, lalu ai pina beaksi.” (mentang-mentang di depan cewek, langsung deh bergaya.)
- Kada jadi baras
Ungkapan ini digunakan untuk menunjukkan
kesia-siaan, atau kemubaziran dari ihwal yang tengah dilakukan.
Bermakna sama dengan “tidak ada untungnya,” dalam bahasa Indonesia baku.
Frasa ini pun kerap dikombinasikan dengan frasa-frasa bahasa Samarinda
lainnya, yang bernada sama.
Contoh: “Behapa ikam umpati bubuhannya? Kada jadi baras tau lah.” (ngapain kamu ikuti mereka? Ndak ada untungnya tau ga sih?)
- Kalonya pang
Celetukan yang satu ini, digunakan untuk
segala sesuatu yang mengira-ngira atau dugaan. Hanya saja,
kecenderungannya ke arah yang least expected. Apabila ingin
dipadankan ke dalam bahasa Indonesia, bisa saja disejajarkan dengan
banyak istilah. Seperti “siapa tahu”, “barangkali”, “mana tahu”, “siapa
kira”, dan beberapa lainnya yang dirasa pas.
Contoh: “Waninya ikam menukar, kalonya pang barang cuntanan.” (kok kamu berani beli itu, mana tahu itu barang curian.)
- Dasar waluh!
Boleh dibilang frasa ini adalah celetukan yang autentik dari Samarinda. Bahasa slang
asli kota ini, yang entah siapa pencetusnya pertama kali. Sebab
berdasarkan pengalaman penulis ketika berkumpul dengan anak muda
Banjarmasin, dan Kalimantan Selatan (Kalsel) secara umum, mereka
mengartikan “waluh” semata-mata labu. Sementara orang Samarinda
sudah menggunakan sebutan ini untuk menghardik orang lain yang dirasa
ngawur, ngaco, atau bertindak sembarangan.
Contoh: “Ikam tuh waluh bujuran!” (kamu itu memang ngawur kok.)
11. Apa kalo’
Ungkapan ini serupa dengan celetukan “tuh
kan” dalam tutur bahasa Indonesia. Bisa juga disamakan dengan ekspresi
spontan “kapok!”, atau “rasain!” tapi dalam tataran yang lebih lembut,
sebab diutarakan kepada seseorang yang menerima akibat dari sikap “mucil” atau bandel.
Contoh: “Apa kalo’, mucil pang kada kawa dipadahi.” (tuh kan, ga bisa dibilangin sih.)
12. Bujur jua…
Frasa ini termasuk yang paling mudah kita temui dalam percakapan sehari-hari di Samarinda. Diutarakan sebagai bentuk afirmasi, sepakat atau menyetujui argumentasi orang lain, namun dengan intonasi yang agak dilebih-lebihkan. Itu sebabnya, ada tiga titik yang menandakan alunan intonasi saat mengatakannya.
…
Demikianlah 12 frasa celetukan-celetukan
khas Samarinda. Bahasa sangat erat kaitannya dengan identitas. Bisa
jadi jumlahnya jauh lebih banyak, dan silakan dibagi dalam kolom
komentar di bawah ini. Di sisi lain, kalo ada orang-orang di sekitar kamu pake celetukan macam begini, fixed! Dia pasti orang Samarinda. Yah, atau orang sekitar sini lah, hehehe…
Bagi kita yang tinggal dan bergaul di
Samarinda, pasti akan sangat akrab dengan frasa-frasa di atas. Namun
bagi yang sudah melakukan urbanisasi dan harus berurusan dengan orang
dengan spektrum latar belakang lebih luas, bisa saja akan menanggalkan
semua ini karena dianggap sebagai tanda-tanda kedaerahan yang lumayan
memalukan. Apa pun alasannya, tidak bisa dimungkiri, orang Samarinda
pasti akan merasa sangat nyaman, bahkan terasa nostalgia, apabila bisa
berucap dengan celetukan-celetukan ini.
Dalam “Ethnologue” (2012) disebutkan,
terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan berkembang, tapi
enggak bisa diingkari bahwa sebagian besar bahasa lainnya dari situ akan
punah. Menurut UNESCO, seperti yang ada di dalam “Atlas of the World’s
Language in Danger of Disappearing”, Indonesia memiliki lebih dari 640
bahasa daerah (2001: 40), dengan kurang lebih 154 bahasa yang harus
diperhatikan. Sebab sekitar 139 bahasa terancam punah, dan bisa-bisa
menyusul 15 bahasa lain yang sudah mati sepenuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar