Kategori

Minggu, 11 Februari 2018

12 UNGKAPAN KHAS ORANG SAMARINDA

  1. Uma’ ai…
uma

Uma’ ai…” bisa digunakan untuk mengekspresikan beberapa kondisi. Bisa berupa kekaguman, menyayangkan, atau menunjukkan respons atas sesuatu yang terkesan berlebihan. Oleh karena itu, istilah ini barangkali bisa disepadankan dengan celetukan “wuidih…” dalam tuturan bahasa Indonesia populer.

 Contoh: “Uma’ ai… pina harat banar.” (wuidih… sok banget sih.)


  1. Apa pang lagi/Bujur-bujur

apa
Nah, kalo frasa ini mungkin bisa diartikan sebagai tanda setuju atau pembenaran dengan penekanan khusus. Semacam mengiyakan pernyataan lawan bicara kamu, seperti yang pernah dijadikan contoh dalam artikel sebelumnya. Kurang lebih serupa dengan celetukan khas Betawi “bener-bener deh…” Meskipun juga bisa disandingkan dengan ungkapan “bujur-bujur.

Contoh: “Memang inya tuh harat, apa pang lagi.” (memang gitu banget dianya.)

  1. Maapkan ai…
maap
Frasa yang satu ini, relatif mudah dipadankan dengan ungkapan “ya maaf…” dalam bahasa Indonesia populer, dan kerap kita temui sebagai bentuk dialog lazim di sinetron, skrip film, dan sejenisnya.

Contoh: “Maapkan ai… ngarannya jua urang sugih.” (ya maaf, namanya juga orang kaya.)

  1. Mauk banar!/Mambari muar
mauk
Ungkapan ini diutarakan dalam mengekspresikan kekesalan, semacam kayak “ah ribet”, “ah muak”, “ah bete…” Ya pokoknya kalo kita lagi KZL gitu.

Contoh: “Bah ikam tuh, mauk banar!” (ah kamu itu, ribet!)

  1. Tau ai…
tau
Kalo frasa yang satu ini bisa disamakan dengan “udah tau kali…” dalam bahasa Indonesia populer.

Contoh: “Tau ai aku, kada usah dipadahi pulang.” (aku udah tau kali… Ndak usah diomongin lagi.)

  1. Pina musti!/Peiya-iyanya
pina
Kita bisa menggunakan ungkapan ini untuk menunjukkan sikap sok orang lain, jadi secara garis besar bisa disampaikan dalam emosi negatif atau meledek. Lebih tepat disebut sebagai cibiran. Kendati memiliki makna yang kurang lebih serupa, “peiya-iyanya” juga dapat digunakan sebagai penguat.

Contoh: “Inya tuh pina musti urangnya, peiya-iyanya.” (dia memang sok, kayak bener-benernya aja.)

  1. Lalu ai…
lalu
Hmm… Frasa yang ini agak pelik untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sebab, ungkapan ini menunjukkan bahwa sang lawan bicara, atau orang ketiga, melakukan sesuatu secara tendensius setelah ada penyebabnya. Bisa jadi padanan yang paling mendekati adalah ungkapan “mentang-mentang…”,  “dasar…”, atau “langsung deh”.

Contoh: “Di muka bebinian haja pang, lalu ai pina beaksi.” (mentang-mentang di depan cewek, langsung deh bergaya.)

  1. Kada jadi baras
kada
Ungkapan ini digunakan untuk menunjukkan kesia-siaan, atau kemubaziran dari ihwal yang tengah dilakukan. Bermakna sama dengan “tidak ada untungnya,” dalam bahasa Indonesia baku. Frasa ini pun kerap dikombinasikan dengan frasa-frasa bahasa Samarinda lainnya, yang bernada sama.

Contoh: “Behapa ikam umpati bubuhannya? Kada jadi baras tau lah.” (ngapain kamu ikuti mereka? Ndak ada untungnya tau ga sih?)

  1. Kalonya pang
kalo
Celetukan yang satu ini, digunakan untuk segala sesuatu yang mengira-ngira atau dugaan. Hanya saja, kecenderungannya ke arah yang least expected. Apabila ingin dipadankan ke dalam bahasa Indonesia, bisa saja disejajarkan dengan banyak istilah. Seperti “siapa tahu”, “barangkali”, “mana tahu”, “siapa kira”, dan beberapa lainnya yang dirasa pas.

Contoh: “Waninya ikam menukar, kalonya pang barang cuntanan.” (kok kamu berani beli itu, mana tahu itu barang curian.)

  1. Dasar waluh!
dasar
Boleh dibilang frasa ini adalah celetukan yang autentik dari Samarinda. Bahasa slang asli kota ini, yang entah siapa pencetusnya pertama kali. Sebab berdasarkan pengalaman penulis ketika berkumpul dengan anak muda Banjarmasin, dan Kalimantan Selatan (Kalsel) secara umum, mereka mengartikan “waluh” semata-mata labu. Sementara orang Samarinda sudah menggunakan sebutan ini untuk menghardik orang lain yang dirasa ngawur, ngaco, atau bertindak sembarangan.

Contoh: “Ikam tuh waluh bujuran!” (kamu itu memang ngawur kok.)

   11. Apa kalo’

apa kalo
Ungkapan ini serupa dengan celetukan “tuh kan” dalam tutur bahasa Indonesia. Bisa juga disamakan dengan ekspresi spontan “kapok!”, atau “rasain!” tapi dalam tataran yang lebih lembut, sebab diutarakan kepada seseorang yang menerima akibat dari sikap “mucil” atau bandel.

Contoh: “Apa kalo’, mucil pang kada kawa dipadahi.” (tuh kan, ga bisa dibilangin sih.)



   12. Bujur jua…


bujur


Frasa ini termasuk yang paling mudah kita temui dalam percakapan sehari-hari di Samarinda. Diutarakan sebagai bentuk afirmasi, sepakat atau menyetujui argumentasi orang lain, namun dengan intonasi yang agak dilebih-lebihkan. Itu sebabnya, ada tiga titik yang menandakan alunan intonasi saat mengatakannya.
Demikianlah 12 frasa celetukan-celetukan khas Samarinda. Bahasa sangat erat kaitannya dengan identitas. Bisa jadi jumlahnya jauh lebih banyak, dan silakan dibagi dalam kolom komentar di bawah ini. Di sisi lain, kalo ada orang-orang di sekitar kamu pake celetukan macam begini, fixed! Dia pasti orang Samarinda. Yah, atau orang sekitar sini lah, hehehe
Bagi kita yang tinggal dan bergaul di Samarinda, pasti akan sangat akrab dengan frasa-frasa di atas. Namun bagi yang sudah melakukan urbanisasi dan harus berurusan dengan orang dengan spektrum latar belakang lebih luas, bisa saja akan menanggalkan semua ini karena dianggap sebagai tanda-tanda kedaerahan yang lumayan memalukan. Apa pun alasannya, tidak bisa dimungkiri, orang Samarinda pasti akan merasa sangat nyaman, bahkan terasa nostalgia, apabila bisa berucap dengan celetukan-celetukan ini.
Dalam “Ethnologue” (2012) disebutkan, terdapat 726 bahasa di Indonesia. Sebagian masih akan berkembang, tapi enggak bisa diingkari bahwa sebagian besar bahasa lainnya dari situ akan punah. Menurut UNESCO, seperti yang ada di dalam “Atlas of the World’s Language in Danger of Disappearing”, Indonesia memiliki lebih dari 640 bahasa daerah (2001: 40), dengan kurang lebih 154 bahasa yang harus diperhatikan. Sebab sekitar 139 bahasa terancam punah, dan bisa-bisa menyusul 15 bahasa lain yang sudah mati sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar